Selasa, 25 Mei 2010

INSPIRASI KEHIDUPAN DARI BAPAK BJ. HABIBIE

CINTAKU JAUH DI PULAU
Cintaku jauh di pulau, gadis manis, sekarang iseng sendiri Perahu melancar, bulan memancar, di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar. angin membantu, laut terang, tapi terasa aku tidak 'kan sampai padanya. Di air yang tenang, di angin mendayu, di perasaan penghabisan segala melaju Ajal bertakhta, sambil berkata: "Tujukan perahu ke pangkuanku saja," Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh! Perahu yang bersama 'kan merapuh! Mengapa Ajal memanggil dulu Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?! Manisku jauh di pulau, kalau 'ku mati, dia mati iseng sendiri.
-----o0o-----
Puisi yang di tulis oleh almarhum Chairil Anwar satu tahun setelah kemerdekaan Republik Indonesia itu, malam ini memberikan arti tersendiri bagiku. Alangkah berlikunya hidup, alangkah beratnya kehidupan bilamana di jalani dengan bahtera yang rapuh. Alangkah beratnya menggapai cinta, sebelum cinta berpeluk ajal telah memanggil dulu. Alangkah sedihnya kehidupan sang sastrawan besar, terlepas dia menggambarkan sendiri kehidupannya sendiri ataupun kehidupan lain di sekitar dia.
Cita-cita hanya cita-cita. Keinginan hanya keinginan. Manusia boleh merencanakan, siapa yang tahu apa yang terjadi esok hari. Optimisme dalam kata-kata, “Perahu melancar, bulan memancar.” Padam seketika, dalam kata,”Perahu yang bersama ‘kan merapuh!”. Semuanya menjadi hilang, sirna dan Sang Jantung Hati pun akan sendiri, meratapi atau malah menikmati sisa cinta yang telah tersapu angin.
Manisku jauh di pulau, kalau ‘ku mati, dia iseng sendiri.
Alangkah dasyatnya, cinta yang dipisahkan oleh kematian. Tidak ada penyesalan, rasa cinta berkibar sampai titik darahnya yang penghabisan. Tidak peduli, rasa cinta itu akan selalu hadir. Walaupun setelah itu dia sendiri dalam kefanaan cinta, masa yang terlewati bersama jauh lebih berarti dibanding kematian itu sendiri. Cinta yang fana, cinta yang terpisahkan akan selalu hadir dalam lubuk hati sang pujangga pujaan hati.
Atau barangkali, cinta itu tidak pernah bertemu. Hanya hasrat dalam dada. Hanya keinginan yang tidak tercapai. Harapan semu akan kehadiran si Jantung Hati. Kita tidak tahu, yang kita tahu sampai dengan kematiannya, sang sastrawan tetap sendiri, bahkan namanya pun seolah akan terlupakan, hilang bersama angin kalau tidak ada karya-karyanya yang mempesona.
Cinta adalah sebuah pilihan hidup. Disisi lain cinta itu merupakan suratan. Manusia berlainan jenis, dipisahkan oleh banyak perbedaan. Perbedaan latar belakang, perbedaan ras, suku bangsa, sikap, kehidupan, perilaku dan banyak lagi perbedaan yang harus disatukan dalam suatu bingkai kehidupan yang di namakan KELUARGA.
Namun bersatu dalam suatu kehidupan yang dinamakan keluarga adalah suatu rahmat, berkah, dan bisa merubah karakter seorang laki-laki yang tadinya tidak berprinsip, keras kepala, bandel, dan banyak sifat jelek laki-laki lainnya menjadi pribadi yang lembut, disiplin, dan sabar dalam menghadapi sikap istri maupun anak-anak yang bandel. Hanya satu jenis makhluk yang merubah itu, makhluk yang dinamakan PEREMPUAN.
Ya, perempuan. Makhluk yang sering dikatakan lemah, doyan belanja, boros, menambah pusing kepala. Makhluk itulah yang dengan sikap dan sifatnya mampu merubah semua. Tidak salah bila banyak orang pintar menyatakan, bahwa jatuh bangunnya sebuah keluarga, maju mundurnya sebuah bangsa, bagus tidaknya akhlak sebuah bangsa ditentukan bukan oleh pemimpin keluarga, tapi siapa yang mempengaruhi pengambil keputusan itu !.
Dibalik keberhasilan seorang pemimpin, ada orang lain yang mendukungnya. Tanyakan itu kepada mereka yang sudah sukses!. Maka berbahagialah mereka yang sudah berkeluarga, berani mengambil risiko mengarungi hidup untuk berbagi dengan pasangannya. Dalam susah, senang, miskin, kaya tetap dalam kepercayaan dan saling bahu membahu meniti kerasnya hidup.
-----o0o-----
Sobat, kita tidak bicara cinta di sini. Bukan pula nafsu serakah manusia yang dibalut dengan suatu kata yang namanya “CINTA”, kadang dibumbui kata yang namanya KEADILAN. Kadang pula dibumbui suatu kata yang dinamakan MENGIKUTI SUNNAH. Atau dilain hal dengan pembenaran, BAHWA AGAMA pun tidak melarang umatnya untuk men-dua, men-tiga, bahkan meng-empat hati.
Biarlah itu menjadi bidang orang-orang yang memang mengerti dan memahami itu. Dalam hal ini kita hanyalah awam, liyan yang mengikuti apa kata pemimpin. Mana yang terbaik itulah yang kita ikuti. Setiap perilaku dan keputusan yang kita ambil akan menjadi baik berdasarkan NIAT AWAL melakukan tindakan itu. Bukan mencela, bukan pula menyalahkan saudara-saudara kita yang kita anggap salah. Namun seperti kata di tengah paragraph kita kembalikan ke niat awalnya. Apabila niat awalnya memang sudah baik, kenapa tidak, kita dukung ramai-ramai …..
Sobat, tulisan semalam saya tulis sebelum diposting hari ini, karena terinspirasi oleh besarnya cinta pemimpin kita BJ. Habibie kepada almarhumah istrinya tercinta, ibunda Hj. HASRI AINUN BESARI HABIBIE.
Alangkah besarnya cinta pemimpin kita ini kepada sang istri. Selama kurun waktu hampir dua bulan, beliau dengan setia menemani sang istri di rumah sakit. Tanpa pernah pulang satu kali pun ! Mari sobat, kita ambil hikmah pelajaran dari hal ini. Untuk orang yang gila kerja, gila baca, gila ilmu pengetahuan seperti BJ. Habibie, namun pada saat-saat terakhir kepergian Ibunda Ainun Habibie mendampingi hingga sang istri menutup mata.
Saya pernah membaca dalam suatu artikel tentang perilaku pria dan wanita dalam menghadapi pasangannya yang terbaring sakit keras dirumah sakit. Setelah dua bulan sang wanita akan dengan sabar menemui dan menanyakan kepada dokter kapan suaminya bisa sembuh, alternatif-alternatif pengobatan yang bisa dilakukan pihak keluarga, hal-hal yang harus ia lakukan dan lain-lain yang mendukung kesembuhan suaminya. Sebaliknya bila hal ini menimpa sang wanita, maka Sang Pria akan bertanya dengan nada keras kepada dokter “sampai kapan dia akan seperti ini …. “.
Tapi ini tidak berlaku kepada pemimpin kita ini. Beliau dengan sabar, penuh sayang, penuh cinta, penuh kasih menemani saat-saat terakhir sang istri. Cinta beliau tidak padam sampai saat-saat terakhir. Dalam liputan televisi digambarkan bagaimana dukanya beliau menghadapi cobaan yang dialami. Namun tetap dengan kesabaran dan kebesaran hatinya dapat menerima semua dengan lapang dada.
Selamat jalan IBUNDA HJ. HASRI AINUN BESARI HABIBIE. Semoga engkau mendapat tempat yang layak di sisi ALLAH SWT, mendapatkan ampunan atas segala dosa dan kesalahan, menerima dengan lipat ganda atas segala amal ibadah yang telah engkau lakukan. Semoga pula segenap keluarga besar Bapak Habibie dapat menerima peristiwa ini dengan sabar …. Amiin.
Contoh yang diberikan oleh Bapak Habibie semoga pula menjadi tauladan buat kami dan terutama saya sebagai penulis notes ini. Semoga kami dapat melakukan hal yang sama sama. Saling mencintai, saling menghargai, saling menghormati sampai tua dan tetap setia mendamping sampai maut memisahkan.
Sekali lagi selamat jalan Ibunda, walaupun engkau telah menghadap Sang Khalik, engkau akan selalu ada di hati kami. Doa akan selalu kami panjatkan semoga engkau tenang dan bahagia di alam sana …. Amin.
Buat sobat-sobat yang belum menemukan pasangan hidup, masih ragu-ragu untuk membina rumah tangga ini juga semoga menjadi inspirasi, alangkah bahagianya bila hidup dalam kebersamaan sebuah keluarga. Percayalah semua kebiasaan buruk akan ter-eliminir dengan sendirinya dan yang pasti hidup akan menjadi lebih teratur dan pastinya akan lebih bertanggung jawab.
Bila sobat masih belum memutuskan untuk MENIKAH. Coba renungkan salah satu puisi Chairil Anwar dibawah ini.
SENJA DI PELABUHAN KECIL buat: Sri Ajati
Ini kali tidak ada yang mencari cinta di antara gudang, rumah tua, pada cerita tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang menyinggung muram, desir hari lari berenang menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak dan kini tanah dan air tidur hilang ombak. Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan menyisir semenanjung, masih pengap harap sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap ditulis tahun : 1946
Semoga menginspirasi ……
Luwuk, 25 April 2010

Rabu, 11 November 2009

Bang Toyib

“Kriiiiiing ….,” bunyi telepon bergema mengagetkan Bang Toyib yang lagi bersantai.

“Rumah Makan ‘Aya Naon’, ada yang bisa dibantu ?” Bang Toyib mengangkat dan menjawab telepon itu.

“Tolong dikirimkan Nasi Rames Komplit, empat puluh porsi dan di antar ke PT. Ayam Jago,” seseorang di seberang telepon menimpali.

“Siap, dalam waktu satu jam, kiriman akan sampai disana,” dengan gaya profesionalnya Bang Toyib meyakinkan.

Sudah tiga tahun ini Bang Toyib berbisnis rumah makan di salah satu sudut Kota Luwuk, ibukota Kabupaten Banggai. Perantauannya yang jauh dari Tanah Pasundan kali ini mengantarkan dia ke kota asri di ujung timur Pulau Sulawesi. Kota yang membumi, tempat hidup bersama beragam suku bangsa di Indonesia dengan damai dan tenteram bersama dengan penduduk lokal, Suku Saluan, Balantak dan Banggai. Kota yang indah tiada duanya, bak kepingan mutiara yang terburai dengan sinar-sinar menyilaukan.

Bang Toyib memang sangat menikmati suasana alam di sini. Pantai yang jernih, berwarna biru kehijau-hijauan dengan latar belakang Pulau Peling diseberang sangat memanjakan mata, apalagi pada saat kawanan lumba-lumba lewat dan melompat-lompat dengan riang. Pegunungan W di belakang kota dengan pohon-pohon rindang nan asri menggoda siapa saja untuk berdecak kagum untuk kemudian menahan hasrat membelai helai-helai hijaunya dedaunan. Gemericik air sungai yang jernih, membelah kota dengan alurnya yang berkelok-kelok menggoda, laksana gadis manis muda jenaka.

Tempat favorit Bang Toyib adalah ‘Keles’ suatu bukit di Utara Kota. Dari situ pemandangan kota kelihatan jelas dan sangat hidup pada malam hari dengan lampu yang berkelap kelip nan binal. Bukit yang mendapat pujian dari Dahlan Iskan, Bos Jawa Pos pada saat beliau berkunjung itu memang sukar sekali dilukiskan keindahannya dengan kata-kata. Kapal laut yang berlabuh dan keluar masuk pelabuhan di teluk dalam kota, burung-burung sejenis elang yang beterbangan disore hari menyegarkan mata siapapun yang melihatnya. Bagi Kawula muda lokasi ini juga merupakan lokasi kongkow favorit. Pada malam liburan, tak jarang lokasi ini sangat ramai pasangan yang memadu asmara.

Seumur hidupnya, baru disinilah dia mendapatkan sensasi alam yang begitu vulgar dan luar biasa indahnya. Bukti kebesaran Yang Kuasa. Sensasi alam yang tidak pernah didapatkan di tempat dia lahir dan besar. Tempat yang lebih banyak berselimut debu dan asap knalpot kendaraan yang meraung-raung. Ada rasa syukur Bang Toyib untuk berkesempatan menjadi warga kota kecil nan asri ini, namun ada juga kerinduan akan tempat kelahirannya.

“Mamat !” dia berteriak, “Siapkan empat puluh box nasi rames komplit”.

“Siap, Bos …,” anak buahnya yang diperintah menjawab.

“Langsung diantar ke PT. Ayam Jago, gak pakai lama,” Bang Toyib kembali menimpali. “Orangnya udah nungguin,” kembali dia berkata.

Rumah Makan ‘Aya Naon’ Bang Toyib memang sekarang cukup ramai. Terbuka dan makin mudahnya akses ke Kota Luwuk salah satu pendorong kemajuan rumah makan yang dimiliki Bang Toyib. Hampir dipastikan setiap orang baru di Luwuk akan mampir ke RM. Aya Naon Bang Toyib. Demikianpun penduduk kota yang lagi enggan, lupa memasak ataupun lagi berwisata kuliner, pilihan pertama yang akan dituju pastinya RM.Aya Naon.

“Racikan masakannya enak,” Salah satu pelanggan berkata.

“Sambel lalapnya itu, ….. pe sadap jo, ….” yang lain menimpali.

RM. Aya Naon memang dikenal menjaga kualitas. Semua yang makanan yang dimasak dan disajikan diolah dalam keadaan segar. Dari awal pembukaan rumah makan, Bang Toyib sang pemilik, memang telah berkomitment untuk itu. Syukur Alhamdulillah, komitmen Bang Toyib mendapatkan apreasiasi yang tinggi dari para pelanggan rumah makannya. Promosi dari mulut ke mulut merupakan salah satu sarana makin bertambahnya pelanggan setia rumah makannya.

“Kriiiiiiiing …..,” kembali telepon berbunyi.”…. pak, boleh pesan nasi deng kepiting rica-rica dua bungkus ….”.

“Oh, boleh,” sahut Bang Toyib. “Diantar kemana ?”. Bang Toyib memang berkomitmen untuk melayani. Bila pelanggan minta makanan diantar, walaupun hanya satu porsi, RM. Aya Naon siap melayani. Baginya nominal pembelian pelanggan bukanlah tolak ukur. Namun lebih dari itu kesetiaan pelanggan, nama baik rumah makan yang senantiasa terjaga dan pelayanan terbaik mendapatkan posisi yang utama.

Itulah modal awal Bang Toyib membuka bisnis rumah makan. Tidak heran dengan cara begitu pada tahun pertama rumah makannya dibuka, bukannya mendapatkan untung, rumah makan yang dikelolanya malah rugi besar. Belum adanya pelanggan, biaya operasional yang tinggi merupakan pemicu kerugian itu. Modal awal yang disiapkan tidak mencukupi untuk menutup kerugian. Setelah hutang sana, hutang sini, sinar terang mulai menghampiri Bang Toyib di tahun keduanya berbisnis.

Disamping ketelatenan dan cara berbisnisnya, perkembangan daerah turut membantu kemajuan bisnis rumah makan Bang Toyib. Banyaknya pengusaha yang mengexplorasi nikel di Luwuk, ditemukannya cadangan minyak dan gas dalam jumlah besar di Kab. Banggai, menyebabkan masuknya para pendatang dari berbagai pelosok negeri. Ibarat lebah yang mengerubuti sumber madu.

Hal itu belum ditambah pengusaha-pengusaha sawit yang rajin memutari daerah mencari lokasi yang tepat untuk investasi perkebunan. Ditemukannya cadangan emas disamping hasil pertanian yang memang melimpah berupa coklat, cengkeh, kopra, rumput laut dan beberapa komoditas lainnya juga merupakan daya tarik lain pada pendatang untuk merapat dan mendapatkan berbagai peluang yang tersedia. Hilir mudiknya muka-muka baru yang mampir di RM. Aya Naon sekarang bukan lagi merupakan pemandangan aneh bagi Bang Toyib dan crew RM. Aya Naon.

Luwuk sekarang ibarat magnet dengan kumparan kuat yang menarik orang untuk berkumpul. Sangat berbeda keadaannya tiga tahun lalu pada saat Bang Toyib datang. Seingatnya, tiga tahun lalu saat pertamakali ke Kota Luwuk, kota ini belum seramai sekarang. Perjalanan darat dari Palu yang merupakan ibukota propinsi ditempuh dengan perjuangan berat oleh Bang Toyib. Delapan belas jam perjalanan dengan medan jalan yang rusak, berkelak-kelok serta berulangkali naik turun gunung merupakan rekor perjalanan tersendiri buat Bang Toyib. Sebelumnya perjalanan darat terjauh yang dilakukan keluarga Bang Toyib hanyalah JakartaBandung dengan waktu tempuh cukup dua jam saja diatas aspal yang di semir mulus.

Kini ditahun ketiga perantauannya, Bang Toyib mulai menuai hasil kerja kerasnya. Pelanggannya bertambah banyak. Omzet RM. Aya Naon meningkat pesat. Jumlah crew dari 2 orang menjadi 20 orang. Prospek usahanya juga menunjukkan perkembangan yang sangat menggembirakan. RM. Aya Naon telah menjadi rujukan rumah makan terbaik di kota Luwuk. Ketenaran yang dibangun dengan keringat dan kerja keras Bang Toyib.

“Kriiiiing ………,” telepon berdering kembali mengagetkan Bang Toyib.

“Pak, … boleh booking seratus tempat untuk pertemuan nanti malam?” Suara perempuan mendayu-dayu diujung telepon.

“Baik Ibu, jam berapa ingin disiapkan ?” jawab Bang Toyib.

Setelah menyelesaikan pembicaraannya dengan perempuan di ujung telepon, Bang Toyib kembali duduk. Tangannya melirik laci dan mengira-ngira jumlah uang yang sudah masuk hari ini.

“Lumayan,….. “ ujarnya dalam hati.

Kini saatnya dia menghitung pendapatannya hari itu kemudian menyetorkannya ke Bank bersama dengan pendapatan hari sebelumnya. Rasanya sudah cukup dulu kerja kerasnya selama tiga tahun. Bang Toyib berniat untuk mudik dulu sementara selama dua minggu, menjenguk keluarganya di kampung. Mamat, anak buah kepercayaannya, nampaknya sudah cukup mampu untuk memegang kendali rumah makan selama dia pergi.

Sudah tiga tahun dia diperantauan, sudah saatnya memang dia menikmati sedikit dari hasil kerja kerasnya. Tiga kali puasa dan tiga kali lebaran di lakoni Bang Toyib di tanah orang dan ini saatnya untuk pulang sementara, berbagi sedikit rejeki dengan orang-orang yang selama ini setia menungu dan mendoakan kesuksesan Bang Toyib.

“Abang ke Bank dulu ya, … sekalian cari tiket untuk mudik.” Ujar Bang Toyib kepada salah satu anak buahnya.

“Mamat ….., jaga laci !” teriaknya.

Luwuk, 21 Oktober 2009